“Perlu ditelusuri jangan-jangan data itu handphone-nya dipinjam, yang menggunakan orang lain, atau yang menggunakan bandar,” tegas Nanang.
Ia juga menyoroti lemahnya validasi data di tingkat desa dan kelurahan. Operator desa dinilai bekerja dengan insentif sangat minim sehingga kualitas data menjadi tidak akurat.
Operator desa hanya menerima honorarium Rp300 ribu per bulan, itupun tidak dibayarkan secara konsisten setiap bulan. Kondisi ini kontras dengan pendamping PKH yang menerima gaji Rp3 juta lebih.
“Mereka juga gajinya Rp300 ribu 1 bulan, itu pun tidak dibayarkan setiap bulan terus-menerus. Mereka itulah yang sebenarnya diberikan reward setara dengan pendamping PKH yang merima Rp3 jutaan,” ungkap Nanang.
Menurut Nanang, transformasi bantuan sosial dari bentuk barang menjadi bantuan tunai memang memberikan kemudahan bagi penerima. Namun, perubahan ini juga membuat bantuan lebih rentan disalahgunakan karena masyarakat belum sepenuhnya siap mengelola bantuan tunai secara bertanggung jawab.
Untuk itu, Nanang mengatakan pendamping PKH dan operator desa perlu bersinergi agar bantuan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan untuk kegiatan melanggar hukum.