Tata Kelola RSUD NTB Disorot DPRD, BPK Turun Tangan Audit Belanja Rp193 Miliar

oleh -350 Dilihat
Indra Jaya Usman Kiri Dan Lalu Herman Mahaputra Kanan
Indra Jaya Usman (kiri) dan Lalu Herman Mahaputra (kanan)
banner 468x60

Mataram — Polemik kelebihan belanja di RSUD Provinsi NTB senilai Rp193 miliar kembali mencuat ke permukaan.

Anggota Komisi V DPRD NTB, Indra Jaya Usman (IJU), mengkritisi penjelasan Direktur RSUD, dr. Lalu Herman Mahaputra, yang dianggap justru membuka indikasi lemahnya tata kelola di rumah sakit milik Pemprov NTB tersebut.

banner 336x280

Dalam keterangan resminya, Senin (17/2/2025), IJU menilai ada potensi pelanggaran standar operasional prosedur (SOP) dalam penanganan medis, mengingat banyaknya klaim yang ditolak oleh BPJS Kesehatan.

“Jika klaim dalam jumlah besar ditolak BPJS, berarti ada SOP yang tidak berjalan baik,” kata politisi Partai Demokrat itu.

Ia juga membeberkan total piutang dari BPJS yang belum dibayarkan baru mencapai sekitar Rp55 miliar.

Jumlah itu, menurutnya, belum mampu menutup total kelebihan belanja rumah sakit.

“Bahkan, kalaupun dibayar penuh, pendapatan RSUD tetap belum sesuai target. Masih ada sisa utang sekitar Rp143 miliar,” ungkapnya.

Data yang diterima DPRD menyebutkan, kelebihan belanja terdiri dari obat-obatan Rp46,7 miliar, bahan medis habis pakai Rp35 miliar, alat medis habis pakai Rp4,2 miliar, dan tagihan KSO (Kerja Sama Operasi) hampir Rp50 miliar.

IJU pun menegaskan pentingnya audit yang bukan sekadar legalisasi pembayaran, tetapi sebagai langkah korektif yang perlu ditindaklanjuti oleh Gubernur NTB yang baru.

“Ini sudah dua tahun terjadi. Harus ada perombakan serius,” tegasnya.

Lebih lanjut, IJU mengungkap informasi yang ia peroleh dari berbagai sumber, bahwa banyak perusahaan telah memblokir akun belanja RSUD NTB akibat akumulasi utang.

Hal ini menyebabkan pengadaan obat dilakukan secara eceran dan tidak efisien.

“Saya dengar, pembelian obat sekarang seperti eceran ke sana kemari karena banyak perusahaan sudah blokir,” katanya.

IJU juga menyampaikan adanya rencana RSUD NTB untuk mengajukan pinjaman bank hingga Rp100 miliar guna membayar mitra KSO dan membuka blokir transaksi.

“Ini seperti utang di atas utang. Masalah serius dalam manajemen keuangan,” bebernya.

Direktur RSUD: Sistem Bukan Salah Kami

Menanggapi kritik DPRD, Direktur RSUD NTB, dr. Lalu Herman Mahaputra, mengakui adanya kelebihan belanja, namun menegaskan bahwa hal itu terjadi karena sistem pengelolaan yang memang memungkinkan utang muncul.

Menurutnya, pola belanja yang dijalankan adalah pembelian barang lebih dulu baru dilakukan perencanaan anggaran.

Ia mencontohkan, pembelian obat amoxilin sebanyak 1.000 unit, padahal hanya 500 yang terpakai. Sisanya dianggap sebagai pemborosan.

“Kami belanja dulu baru masukin perencanaan. Tapi obatnya memang ada, bukan fiktif,” jelasnya.

Ia menyatakan kesiapannya untuk diaudit dan menyambut baik langkah tersebut demi transparansi dan pembuktian tanggung jawab Pemprov.

“Saya senang kalau diaudit. Biar Pemprov tahu kewajibannya membiayai RSUD,” tegas mantan Direktur RSUD Kota Mataram itu.

Jack juga menyoroti minimnya dukungan APBD terhadap operasional rumah sakit. Ia menyebut, alokasi anggaran hanya mencakup gaji PNS, sementara sepertiga tenaga kerja di RSUD adalah ASN.

“Contohnya, untuk bayar listrik kami hanya diberi Rp600 juta per bulan, padahal kebutuhan riilnya Rp1 miliar,” bebernya.

RSUD NTB juga tengah menanggung utang dari klaim BPJS yang belum cair serta kewajiban kepada PT SMI.

Di tengah polemik ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTB mulai melakukan audit atas kelebihan belanja tahun anggaran 2024.

Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam bentuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) khusus untuk RSUD NTB.

Plt. Kepala BPKAD NTB, Ervan Anwar, menyampaikan bahwa audit dilakukan secara paralel dengan pemeriksaan laporan keuangan seluruh OPD lingkup Pemprov NTB.

“Khusus RSUD, diperiksa oleh tim PDTT. OPD lain hanya pemeriksaan LKP,” ujarnya.

Audit dijadwalkan berlangsung selama 38 hari sejak entry meeting, dan diharapkan menghasilkan temuan yang bisa menjadi bahan evaluasi mendalam terhadap sistem pengelolaan rumah sakit daerah tersebut. ()