JAKARTA – Kota masa depan tak cukup hanya tampak modern dengan gedung pencakar langit dan teknologi canggih. Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono menegaskan, kota harus dirancang agar tetap manusiawi dan inklusif.
AHY menyampaikan pandangan tersebut saat menjadi pembicara utama dalam konferensi regional EAROPH ke-54 di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Konferensi yang mengangkat tema perancangan kota masa depan ini membahas integrasi inovasi dan ketangguhan menghadapi tantangan perkotaan.
Menko AHY mengingatkan bahwa menjelang 2050, hampir 70 persen penduduk bumi akan tinggal di kota. Kota akan menjadi pusat ekonomi dan inovasi, sekaligus titik temu berbagai risiko global.
“Krisis iklim mengubah cara hidup kita. Kenaikan permukaan laut mengancam kota-kota pesisir, termasuk Jakarta, salah satu ibu kota dengan laju penurunan tanah tercepat di dunia,” ungkapnya.
Ia menyoroti tiga kekuatan besar yang membentuk masa depan perkotaan di Asia yaitu krisis iklim, perubahan demografi, dan revolusi digital. Tanpa etika dan inklusi, teknologi justru bisa memperdalam kesenjangan sosial.
AHY menekankan pembangunan kota harus dipandu prinsip, bukan sekadar proyek fisik. Infrastruktur sejati adalah wadah bagi martabat dan kesempatan warga.
“Infrastruktur bukan semata baja dan beton, melainkan wadah bagi martabat dan kesempatan. Kota yang tangguh dan inovatif adalah kota yang bekerja untuk semua orang, terutama mereka yang berada di pinggiran,” ujarnya.
Ketangguhan harus menjadi bagian dari desain sejak awal, bukan solusi setelah bencana terjadi. Investasi pada pencegahan lewat tata ruang dan perencanaan banjir yang adaptif menjadi kunci.
Menko AHY memperkenalkan konsep trinitas kota masa depan: hijau, tangguh, dan cerdas. Hijau berarti harmonis dengan alam melalui infrastruktur seperti mangrove dan taman kota.
Tangguh artinya mampu beradaptasi terhadap bencana dan perubahan iklim. Sementara cerdas bermakna memanfaatkan teknologi sebagai penyelamat, bukan kemewahan.
“Setiap stasiun harus menjadi pusat kehidupan komunitas, bukan sekadar simpul transportasi,” ujarnya.
