Dalam percakapan yang dipandu Gita Wiryawan, SBY mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi dunia yang semakin terpolarisasi.
Ia menilai ironis bahwa dunia justru terbelah ketika seharusnya bersatu menghadapi ancaman perubahan iklim.
“Dunia kita sedang tidak baik-baik saja. Ketegangan geopolitik, instabilitas keamanan, perang antarnegara, dan tragedi kemanusiaan terjadi di mana-mana,” katanya.
SBY menyebut bahwa fokus pada konflik geopolitik justru menjauhkan perhatian dunia dari upaya melawan perubahan iklim.
Padahal, kerja sama internasional merupakan kunci utama dalam mengatasi krisis lingkungan.
“Kalau situasi masih seperti ini, saya khawatir makin menjauh kesadaran dunia untuk melawan perubahan iklim. Yang ada hanya geopolitik, perang, ambisi, ego,” ungkapnya.
SBY mengaku semakin peduli terhadap isu lingkungan sejak Indonesia menjadi tuan rumah COP 13 di Bali pada 2007.
Pertemuan yang hampir gagal tersebut berhasil dilaksanakan berkat kerja sama dengan mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon, hingga melahirkan Bali Road Map yang kemudian mengarah pada Paris Climate Agreement.
“Saya makin tahu bahwa bumi kita ini menghadapi ancaman yang real—dampaknya lebih dahsyat dari peperangan yang ada,” katanya menjelaskan alasan komitmennya pada isu lingkungan.
Kepedulian tersebut diwujudkan melalui The Yudhoyono Institute (TYI) yang telah 8 tahun konsisten menyuarakan urgensi penyelamatan bumi.
Lembaga think tank yang dipimpinnya mengusung prinsip “Think Big, Do Small, Do Now” dengan menempatkan sustainability sebagai isu sentral.
SBY menekankan, menyelamatkan bumi adalah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya pemerintah atau ahli lingkungan.
