MATARAM – Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat menyampaikan keprihatinan serius atas dampak kebijakan penghapusan tenaga honorer secara nasional. Kebijakan ini kini tengah memasuki tahap implementasi di seluruh daerah, termasuk di Provinsi NTB.
Berdasarkan data dan temuan di lapangan, saat ini masih terdapat ribuan tenaga honorer di berbagai instansi Pemprov dan Pemda kabupaten/kota yang tidak masuk dalam seleksi PPPK. Para tenaga honorer ini juga tidak terakomodasi dalam skema tenaga paruh waktu sebagaimana opsi yang sebelumnya disampaikan oleh pemerintah pusat.
“Para tenaga honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun kini menghadapi ketidakpastian nasib,” kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD NTB Indra Jaya Usman (IJU) dalam pandangan umumnya di sidang paripurna, Senin (23/9/2025).
Menurutnya, mereka berpotensi masuk dalam kategori pengangguran terbuka dalam waktu dekat apabila tidak ada kebijakan strategis dari pemerintah daerah.
Fraksi Demokrat memprediksi dampak serius bagi daerah berupa ledakan pengangguran baru terutama di sektor layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi desa/kelurahan.
Daerah juga akan kehilangan SDM berpengalaman yang selama ini menjadi tulang punggung pelayanan di sektor teknis, terutama guru honorer, operator sekolah, tenaga penyuluh, dan staf administrasi non-PNS.
Dampak lainnya, menurut Fraksi Demokrat, adalah kegelisahan sosial dan potensi konflik horizontal akibat rasa ketidakadilan di antara para honorer yang tidak terakomodasi.
Fraksi Demokrat juga khawatir akan terjadi penurunan kualitas pelayanan publik karena hilangnya tenaga-tenaga kerja fungsional yang tidak mudah digantikan dalam waktu singkat.
Dalam rangka mencegah potensi krisis sosial dan pengangguran terbuka, Fraksi Partai Demokrat mendorong Pemerintah Provinsi NTB untuk segera mengambil langkah-langkah konkrit dan komprehensif.
Mereka mengusulkan pembentukan skema khusus “Tenaga Layanan Publik Daerah” (TLPD) melalui regulasi daerah yang melegalkan keberadaan tenaga kerja non-ASN berbasis kontrak daerah.
TLPD dapat dijadikan jembatan antara tenaga honorer dan skema rekrutmen formal PPPK/CPNS di masa mendatang. Gaji akan bersumber dari pos belanja pegawai yang disesuaikan secara efisien melalui APBD.
Fraksi Demokrat juga mengusulkan penyusunan database terpadu honorer daerah berbasis kinerja dan masa pengabdian. Pemerintah daerah harus memiliki data valid dan terverifikasi terkait tenaga honorer yang belum terakomodasi sebagai dasar kebijakan rekrutmen ke depan.
Usulan lainnya adalah mengalokasikan anggaran untuk program konversi profesi bagi honorer yang tidak dapat diserap di sektor publik. Mereka bisa diberikan pelatihan reskilling dan upskilling melalui kerjasama dengan Balai Latihan Kerja, Dinas Ketenagakerjaan, dan lembaga pelatihan mitra swasta.
“DPRD dan Pemerintah Provinsi harus bersinergi dalam menyuarakan aspirasi NTB kepada pemerintah pusat agar formasi PPPK ditambah secara signifikan di sektor pendidikan dan kesehatan,” kata IJU.
Menurut dia, daerah dengan jumlah honorer tinggi seperti NTB harus diberi afirmasi khusus.