MATARAM – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) didesak mempercepat penanganan masalah stunting setelah data terbaru menunjukkan angka prevalensi di daerah itu masih berada di atas rata-rata nasional.
Desakan itu disampaikan Anggota Komisi VI DPRD NTB, H. Lalu Zaenul Hamdi, ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (19/6).
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting di NTB mencapai 25,6 persen. Angka itu jauh melampaui angka nasional yang sebesar 21,5 persen.
Kondisi ini membuat Zaenul prihatin mengingat target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 menargetkan angka stunting nasional turun menjadi 14 persen.
“Data ini sangat mengkhawatirkan. NTB tidak boleh tertinggal dalam upaya penurunan stunting,” tegas Zaenul.
Dia menekankan bahwa stunting bukan sekadar masalah tinggi badan anak, melainkan ancaman serius terhadap masa depan generasi penerus NTB.
Menurutnya, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis ini akan berdampak pada potensi kognitif dan daya saing sumber daya manusia provinsi.
“Bayangkan jika generasi muda kita terganggu perkembangan otaknya sejak kecil. Ini akan berpengaruh pada kualitas SDM NTB di masa depan,” ungkap anggota dewan yang juga mendalami isu kesejahteraan rakyat ini.
Zaenul mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menyebabkan angka stunting NTB masih tinggi. Pertama, akses pangan bergizi yang belum merata, terutama bagi keluarga kurang mampu. Kedua, pola asuh yang belum tepat karena minimnya pengetahuan orangtua tentang ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI).
“Masih banyak ibu yang tidak paham pentingnya ASI eksklusif enam bulan pertama, atau cara memberikan MPASI yang benar,” jelasnya.
Faktor lain yang disebutkan Zaenul adalah keterbatasan akses sanitasi layak dan air bersih di beberapa wilayah, serta kesenjangan pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Zaenul mengusulkan beberapa langkah strategis. Dia menekankan pentingnya fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai masa emas yang tidak bisa diulang.