Pemprov NTB Didesak Cepat Tangani Stunting, Angka Provinsi Masih di Atas Nasional

oleh -270 Dilihat
Gizi Anak Ilustrasi
Pemeriksaan gizi anak. (Foto: ilustrasi)
banner 728x90

MATARAM – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) didesak mempercepat penanganan masalah stunting setelah data terbaru menunjukkan angka prevalensi di daerah itu masih berada di atas rata-rata nasional.

Desakan itu disampaikan Anggota Komisi VI DPRD NTB, H. Lalu Zaenul Hamdi, ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (19/6).

banner 336x280

Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting di NTB mencapai 25,6 persen. Angka itu jauh melampaui angka nasional yang sebesar 21,5 persen.

Kondisi ini membuat Zaenul prihatin mengingat target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 menargetkan angka stunting nasional turun menjadi 14 persen.

“Data ini sangat mengkhawatirkan. NTB tidak boleh tertinggal dalam upaya penurunan stunting,” tegas Zaenul.

Dia menekankan bahwa stunting bukan sekadar masalah tinggi badan anak, melainkan ancaman serius terhadap masa depan generasi penerus NTB.

Menurutnya, kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis ini akan berdampak pada potensi kognitif dan daya saing sumber daya manusia provinsi.

banner 336x280

“Bayangkan jika generasi muda kita terganggu perkembangan otaknya sejak kecil. Ini akan berpengaruh pada kualitas SDM NTB di masa depan,” ungkap anggota dewan yang juga mendalami isu kesejahteraan rakyat ini.

Zaenul mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menyebabkan angka stunting NTB masih tinggi. Pertama, akses pangan bergizi yang belum merata, terutama bagi keluarga kurang mampu. Kedua, pola asuh yang belum tepat karena minimnya pengetahuan orangtua tentang ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI).

“Masih banyak ibu yang tidak paham pentingnya ASI eksklusif enam bulan pertama, atau cara memberikan MPASI yang benar,” jelasnya.

Faktor lain yang disebutkan Zaenul adalah keterbatasan akses sanitasi layak dan air bersih di beberapa wilayah, serta kesenjangan pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil.

Untuk mengatasi permasalahan ini, Zaenul mengusulkan beberapa langkah strategis. Dia menekankan pentingnya fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai masa emas yang tidak bisa diulang.

“Kita harus maksimalkan Posyandu sebagai garda terdepan. Edukasi gizi untuk ibu hamil dan menyusui harus diperkuat,” katanya.

Zaenul juga menyoroti perlunya kolaborasi multi-sektor dalam penanganan stunting. Menurutnya, Dinas Kesehatan tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus melibatkan Dinas Pertanian, Pendidikan, Sosial, hingga sektor swasta dan akademisi.

“Ini bukan urusan satu dinas saja. Semua pihak harus bergerak bersama,” tegasnya.

Sebagai solusi inovatif, anggota dewan ini juga mendorong pemanfaatan teknologi untuk pemantauan data stunting secara real-time dan pengembangan aplikasi edukasi gizi. Selain itu, dia mengusulkan pengembangan pangan lokal kaya gizi sebagai alternatif MPASI yang terjangkau.

“NTB punya potensi pangan lokal yang luar biasa. Kita bisa kembangkan ini menjadi solusi MPASI yang bergizi dan murah,” ujar Zaenul.

banner 728x90