MATARAM – Pemerintah didesak memperkuat upaya pencegahan pembukaan lahan baru di kawasan Taman Nasional Moyo Satonda yang mengancam kelestarian lingkungan.
Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Syamsul Fikri menilai perlu dukungan infrastruktur infrastruktur memadai untuk mendorong mata pencaharian alternatif bagi warga setempat.
“Tidak bisa hanya dengan himbauan semata. Pemerintah perlu menyediakan infrastruktur pendukung yang memungkinkan masyarakat beralih ke sektor jasa lingkungan seperti ekowisata,” kata Syamsul Fikri, Senin (23/6).
Legislator asal Dapil V Sumbawa dan Sumbawa Barat ini menyoroti kondisi 13.000 jiwa penduduk di Desa Labuan Aji dan Desa Sebotok yang masih bergantung pada pertanian mete, wijen, dan jagung sebagai mata pencaharian utama.
Keterbatasan akses dan infrastruktur memaksa warga membuka lahan baru di kawasan yang kini berstatus taman nasional.
“Saya prihatin melihat aktivitas pembukaan lahan baru yang berdampak pada debit Air Terjun Mata Jitu dan populasi burung kakatua kecil jambul kuning. Kalau kita tidak mampu menyediakan alternatif ekonomi, itu akan jadi ancaman bagi lingkungan,” ujar anggota komisi yang membidangi infrastruktur dan pembangunan ini.
Syamsul Fikri mendesak percepatan pembangunan infrastruktur pendukung di Pulau Moyo untuk menunjang pengembangan wisata bahari dan pengamatan burung yang telah diinisiasi melalui program CONSERVE.
Program kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Global Environment Facility dan United Nations Development Programme ini melibatkan 71 warga dalam tiga kelompok jasa wisata.
“Program harus bertahap dan kontinyu sehingga bisa menyentuh akar masalah ekonomi masyarakat. Diperlukan infrastruktur jalan, dermaga, dan fasilitas wisata yang memadai agar ekonomi berbasis jasa lingkungan benar-benar bisa menjadi alternatif,” tegas politisi Partai Demokrat itu.
Taman Nasional Moyo Satonda yang ditetapkan melalui SK Menteri LHK No.901/MENLHK.SETJEN/PLA.2/8/2022 pada 16 Agustus 2022 memiliki potensi wisata yang belum optimal. Pulau yang pernah menjadi tempat liburan Putri Diana ini masih menghadapi tantangan konektivitas dan infrastruktur dasar.
“Status taman nasional seharusnya menjadi berkah ekonomi bagi masyarakat, bukan beban. Tapi tanpa dukungan infrastruktur memadai, warga akan terus membuka lahan baru untuk bertahan hidup,” kata Syamsul Fikri.
Dia juga menyoroti adanya 7.000 hektare areal penggunaan lain (APL) dari total 28.600 hektare luas Pulau Moyo yang berpotensi dikembangkan untuk aktivitas ekonomi berkelanjutan. Namun pemanfaatannya memerlukan perencanaan matang dan dukungan infrastruktur.
“Kita tidak boleh membiarkan konflik antara konservasi dan ekonomi masyarakat berlarut. Solusinya adalah mempercepat pembangunan infrastruktur yang mendukung ekonomi hijau sekaligus menjaga kelestarian taman nasional termuda di Indonesia ini,” pungkas Syamsul Fikri.