MATARAM – Gubernur Nusa Tenggara Barat Lalu Muhamad Iqbal mengancam akan memidanakan perusahaan penempatan tenaga kerja yang masih menagih biaya kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang akan bekerja ke Malaysia, meski pemerintah negara tetangga itu telah menerapkan sistem tanpa biaya.
Ancaman tegas ini disampaikan Iqbal di Mataram, Selasa, setelah menemukan fakta bahwa masih banyak perusahaan yang belum mengembalikan dana penempatan kepada PMI.
“Kedepannya kalau ada yang masih praktek-praktek seperti itu, kita pidanakan. Nanti kita koordinasikan dengan APJATI dan pihak Polda, khusus untuk Malaysia kalau masih seperti itu kita pidanakan,” tegas gubernur yang akrab disapa Iqbal ini.
Iqbal menjelaskan, sistem zero cost untuk pengiriman PMI ke Malaysia sebenarnya sudah menjadi amanat undang-undang dan akan segera dijadikan proyek percontohan. Namun implementasinya masih terkendala praktik nakal sejumlah perusahaan.
Selain persoalan perusahaan bandel, Iqbal juga menyoroti munculnya praktik rentenir yang dikenal dengan sebutan “Bank Subuh” yang memangsa calon PMI yang kesulitan dana untuk keberangkatan awal.
Gubernur menyebut fenomena ini sebagai “jebakan Batman” karena menerapkan bunga harian yang mencekik dan berlipat-lipat, sehingga semakin mempersulit kondisi ekonomi calon PMI.
Untuk memutus mata rantai rentenir tersebut, Iqbal mendorong Bank NTB Syariah dan BPR NTB sebagai Badan Usaha Milik Daerah untuk menyediakan skema pinjaman dengan jaminan dari Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
“Pembayaran dapat dilakukan dalam ekosistem yang aman dan transparan,” kata Iqbal.
Lebih lanjut, dia juga mengusulkan agar sistem remitansi PMI dapat disalurkan melalui rekening Bank NTB untuk menghindari risiko kehilangan uang tunai saat perjalanan pulang ke tanah air.
Meski fokus pada penyelesaian masalah Malaysia, Iqbal berharap PMI asal NTB ke depannya bisa diarahkan untuk bekerja di negara-negara yang membutuhkan keahlian seperti Korea dan Jepang. Namun dia mengakui, mayoritas masyarakat NTB saat ini masih terbatas kemampuannya dan hanya bisa bekerja di sektor semi keahlian karena kendala ekonomi, sosial, dan pengalaman.
Kebijakan zero cost ini menjadi upaya pemerintah daerah melindungi PMI asal NTB dari jeratan utang dan praktik eksploitasi yang selama ini kerap menimpa pekerja migran Indonesia.