Mataram– Seorang dosen di Mataram, Nusa Tenggara Barat, diberhentikan oleh pihak kampus setelah diduga terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap belasan mahasiswa.
Dosen berinisial LRR itu kini telah ditahan dan menghadapi ancaman hukuman lebih dari 12 tahun penjara.
Langkah pemberhentian dilakukan pihak kampus setelah Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB melaporkan ada 12 korban yang berasal dari sejumlah kampus tempat LRR mengajar.
Sementara itu pihak kepolisian menyatakan LRR kini berstatus tersangka atas dugaan pelecehan seksual fisik sesama jenis.
Hal itu sebagaimana diatur Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun, tapi karena melibatkan lebih dari satu korban, hukumannya bisa lebih berat,” ujar AKBP Ni Made Pujawati, Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda NTB, Selasa (22/4).
Pujawati menyebutkan, LRR ditahan sejak 21 April 2025 di sel Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda NTB.
Proses hukum telah melalui gelar perkara dengan dua alat bukti yang cukup, termasuk keterangan saksi dan pendapat ahli hukum, psikologi forensik, serta ahli bahasa.
Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, memastikan proses hukum akan terus berjalan sesuai prosedur dan menjamin perlindungan bagi korban.
Mengapa Kasus Ini Berulang?
Menanggapi kasus ini, Penjabat Ketua Perempuan Demokrat Republik Indonesia (PDRI) NTB, Baiq Indraningsih, menyatakan tindakan administratif terhadap pelaku tidaklah cukup.
Dia menekankan pentingnya pihak kampus membangun sistem pelaporan kekerasan seksual yang aman, rahasia, dan berpihak kepada korban.
“Kasus pelecehan ini ‘kan bukan kasus tunggal. Ada belasan kasus, berulang-ulang. Artinya, di sini ada lingkungan yang memungkinkan kejadian itu berulang terus,” tukas Indraningsih, dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (23/4).
Lebih jauh ia mendesak pemerintah daerah mempercepat penyusunan dan implementasi kebijakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di ranah pendidikan.
“Tidak cukup hanya memecat pelaku, ada tanggung jawab moral dan institusional yang harus diemban. Karena itu, PDRI mendorong kolaborasi lintas sektor,” kata Baiq Indraningsih. (*)