Bogor — Di balik warna-warna dan sapuan kuas, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyimpan proses kontemplatif yang dalam. Melukis bukan sekadar aktivitas kreatif baginya, tetapi menjadi medium untuk menyelami ulang peristiwa hidup, merefleksikan penderitaan manusia, dan menemukan ketenangan setelah masa penuh gejolak.
Saat menerima kunjungan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya di Cikeas Art Gallery, SBY mengungkap sisi personal di balik karya-karyanya. Salah satu lukisan yang mencolok berjudul The Day God Tests Our Faith and Courage, menggambarkan momen tsunami Aceh, peristiwa yang juga menggores sejarah kepemimpinannya.
“Judul lukisan ini bermakna sebuah haru ketika Tuhan menguji keimanan kita dan keberanian kita untuk dapat kembali bangkit,” ujar SBY.
Lukisan tersebut dibuat dalam 15 jam tanpa jeda, sebuah proses yang menggambarkan kedalaman emosi dan keterlibatan batin. Menurut SBY, karya seni semacam ini bukan hanya hasil teknik melukis, tetapi juga pancaran dari pengalaman, perasaan, dan perenungan spiritual.
“Saya sudah membuat sekitar 350 lukisan. Yang di Pacitan ada sekitar 200, sisanya di sini,” ujar SBY sambil mendampingi Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, melihat karya-karyanya.
Menurut SBY, awalnya ia banyak melukis pemandangan alam seperti laut dan pegunungan. Seiring waktu, ia mengeksplorasi subjek lain seperti rumah pedesaan, binatang, hingga gaya abstrak. Beberapa lukisan dibuat dengan teknik cat minyak, pisau palet, bahkan finger painting.
SBY juga menjelaskan eksplorasinya dalam seni tidak terbatas pada visual. Ia menulis puisi, menciptakan lagu, dan tengah menyelesaikan novel suspense. Dalam karyanya, tampak jelas bahwa unsur eksistensial, yakni soal harapan, kehilangan, dan harapan untuk pulih, menjadi benang merah yang kuat.
Menteri Riefky yang hadir bersama jajaran Kemenekraf menyatakan apresiasinya terhadap pendekatan SBY dalam berkesenian. Ia menilai karya-karya tersebut tidak hanya memiliki nilai artistik, tetapi juga kekuatan untuk menyembuhkan dan menginspirasi.
“Ini lebih dari seni. Ini adalah narasi pemulihan, keberanian, dan spiritualitas. Kami belajar bahwa seni dapat menjadi instrumen refleksi dan kekuatan jiwa,” kata Riefky.
